"Selamat Datang di Blog Keroncong Asli " "Salam Keroncong Indonesia ...."

Saturday, February 17, 2018

ANDJAR ANI


Indonesia bebas secara de facto dan de jure dari penjajahan Belanda. Memasuki tahun 1950-an itu, dinamika kehidupan di republik yang masih berusia bayi mulai bermunculan. Salah satunya adalah soal musik, termasuk derasnya pop barat yang menderu masuk ke dalam negeri. Itulah masa ketika Sukarno lantas meneriakkan slogan, “Mereka adalah penyakit moral.”
Statemen itu bermula pada tahun 1950-an, saat munculnya band Tielman Brothers, kelompok musik beranggotakan orang-orang Indonesia yang tenar di Belanda. Popularitas Tielman menginspirasi lahirnya grup Beatles dari Liverpool yang kondang ke seluruh dunia era 1960-an. Disambut gegap gempita di mana-mana, ternyata diancam di negeri Indonesia. Presiden Sukarno menolak lagu-lagu barat itu yang diistilahkannya sebagai ngak-ngik-ngok.
Presiden menyebut lagu-lagu itu sebagai ”Imperialis kapitalis,” ucapnya dalam sebuah wawancara dengan stasiun TV AS CBS di Istana Merdeka tahun 1965. Pernyataan pedas itu dipancing oleh pertanyaan jurnalis Bernard Kalb, yang memang tahu banyak Indonesia serta sangat keindonesia-indonesiaan, serta ahli yang kritis dalam banyak hal. Pertanyaan Kalb pada Sukarno adalah,“Bagaimana pendapat Anda tentang the Beatles?”.
“Saya melarang the Beatles dan beatleisme di sini”. Demikian jawaban to the point Sukarno bila ditanya pandangannya soal kepopuleran grup musik sohor Eropa tersebut. Gegap The Beatles yang berasal dari kota pantai pelabuhan Liverpool, Inggris, kembali dikritik oleh Sukarno dalam pidato 17 Agustus 1965. Apa pasal? Ia masih geram dengan Inggris yang membentuk federasi Malaysia. Baginya, negeri tetangga itu adalah proyek kolonialisme gaya baru yang mengancam Indonesia. Ditambah lagi yang membentuk itu adalah Inggris, negeri asal the Beatles.
“Agar kita tidak jadi bangsa penjiplak!”, pekik Sukarno pada pidato HUT RI ke-20 itu.  Di mata Bung Karno, para imperialis itu hanya ingin merangsek Indonesia dengan segala cara. Termasuk melalui budaya. Kebetulan saja yang terdengar dilarang adalah Beatles. Karena waktu itu band ini sedang digandrungi. Tapi sebetulnya yang juga ikut dilarang adalah musik barat produk kapitalisme lainnya termasuk musik Elvis Presley. Semangat anti musik asing itu memompa nasionalisme seorang pemuda kelahiran Ponorogo, Andjar Any.
Dalam suasana seperti itu, Andjar Any seolah menawarkan ”obatnya.” Ia telah mencipta lagu sejak tahun 1960 berjudul Wong nDeso. Lagu itu menjadi pangkal dari akan mengalirnya 2000-an lagu yang lahir dari tangan Andjar Any. Dari 2000 lagu itu, seratus lagu di antaranya Wedang Ronde, E Jamune, Jangkrik Genggong, Iki Weke Sopo, Nyidam Sari, Nonong, dan lain-lain menjadi lagu abadi yang dinyanyikan hingga kini termasuk dalam langgam keroncong dan campursari
Sejak tahun 1961, Andjar yang berusia 25 tahun sebetulnya telah menciptakan langgam namun belum ada yang mau mendengarnya. Orang masih menyukai jenis musik pop. Ketika Yen Ing Tawang diciptakan tahun 1964, itulah tonggak dikenalnya lagu-lagu Andjar Any. Lagu itu ternyata diputar oleh sebuah stasiun radio di Solo, yang didengar oleh seseorang dan ia menceritakannya ke Andjar yang masih tinggal di Ponorogo.
Cerita itu membangkitkan keyakinan dan motivasinya bahwa langgam Jawa yang diciptakan akan mampu menarik minat pendengar. Momentum besar terjadi tahun 1964. Andjar Any, kemudian merintis pengenalan terhadap musik langgam Jawa.
Suatu hari Andjar Any benar-benar merindukan lahirnya anak perempuan, karena dari tiga anak semuanya laki-laki. Melalui lagu ciptaannya, Yen Ing Tawang Ana Lintang, ia mengadaptasikan keroncong terhadap tradisi musik gamelan. Lagu itu adalah lagu yang paling berkesan bagi Andjar Any. Lagu yang diinspirasi ketika pada suatu malam ia duduk berdua dengan istrinya memandangi langit. Kala itu Andjar sangat merindukan kelahiran anak perempuan.
Langgam Jawa yang memiliki ciri khusus pada penambahan instrumen antara lain siter dan kendang juga bisa diwakili dengan modifikasi permainan cello ala kendang, saron, dan adanya bawa atau suluk berupa introduksi vokal tanpa instrumen untuk membuka sebelum irama dimulai secara utuh.
Rupanya ketika lagu Yen Ing Tawang direkam di Lokananta, Andjar Any mendapat honor 16 ribu rupiah. Wesel tersebut tidak cepat-cepat diuangkan, malah diperlihatkan kepada teman-temannya. “Iki lho lihat, laguku direkam di Lokananta,” pamer Andjar. Tak dinyana pemerintahan Sukarno melakukan kebijakan pemotongan nilai Rupiah dimana akhirnya uang yang berjumlah 16 ribu rupiah itu turun nilai menjadi 16 rupiah saja. Andjar melongo, “Makanya jangan suka pamer,” lirihnya kemudian.
Yen Ing Tawang Ono Lintang dilantunkan pertama kali oleh Ibu Sarbini, kakak Waldjinah yang juga penyanyi. Pada saat itu lagu tersebut dinilai telah melanggar aturan jenis lagu langgam. Langgam dengan cengkok yang demikian khas tiba-tiba terusik dengan langgam gaya baru versi Yen Ing Tawang Ono Lintang. Dianggap lagu cinta, lagu ini sebetulnya merupakan doa Andjar Any agar dikaruniai anak perempuan. Banyak kalangan yang menganggap lagu itu merupakan lirik kerinduan pada kekasih. Andjar hanya memaklumkannya saja karena penafsiran atas karya cipta seringkali multi dimensi. Puji syukur doanya dikabulkan oleh Sang Pencipta setahun kemudian. Anak keempat lahir dan berjenis kelamin perempuan.
Pilihan Andjar Any untuk menekuni langgam Jawa ternyata adalah hal yang tepat. Bagaimanapun ia dapat menjiwai secara mendalam lagu-lagu yang dicipta dan dinyanyikannya. Berbeda misalnya jika ia menciptakan lagu berlirik bahasa Indonesia atau membuat genre dangdut. Andjar mengakui bahwa ia mudah saja dilibas oleh rajanya dangdut, Rhoma Irama. Tetapi dengan menekuni langgam Jawa, langgam bahasa ibu, pasarnya luas karena sedikit saja orang yang mampu berkiprah di situ. Andjar pun menjadi rajanya.
Jelang tahun 1970-an lewat lagu karangannya yang berjudul Entit, Andjar mengukuhkan diri sebagai pencipta langgam Jawa. Kreativitasnya mengundang banyak pengarang melakukan hal yang sama. Ia juga menggubah lagu Jangkrik Genggong, lagu kritis yang diberi sentuhan langgam. Dari sinilah lagu-lagu langgam Jawa mulai terangkat meski belum bisa menyamai menyaingi  popularitas lagu-lagu barat.
Kecintaan Andjar pada kota Blitar amat besar karena di sanalah kota yang identik dengan Bung Karno, tokoh yang amat dikaguminya. Andjar pun menciptakan sebuah lagu berlatar kota Blitar, yang diakuinya sebagai lagu nekad, karena diciptakan saat Orde Baru berkuasa. Ternyata lagu tersebut disukai masyarakat. Saat Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970 dan dibawa ke Blitar, esok harinya Andjar Any turut berangkat ke kota kelahiran si Bung untuk melayat dengan menumpang truk. Setelah wafatnya, Andjar tetap mencipta lagu-lagu bertemakan pahlawan proklamasi tersebut.
Kekaguman kepada Soekarno kemudian beralih pada putri presiden pertama tersebut, Megawati. Andjar kagum bahwa sang putri bisa juga menjadi presiden RI. Karena itu Andjar menciptakan lagu berjudul Mega Mega setelah Megawati ditetapkan menjadi kepala Negara. Ia berharap keturunan putra sang fajar tersebut mampu mendatangkan cahaya penerang hati di era reformasi.
Di awal era Orde baru, dimulailah Pembangunan Lima Tahun sebagai sebuah program yang serupa dengan Pembangunan Semesta Berencana. Untuk menggiatkan pembangunan tersebut, maka Andjar Any menciptakan lagu Nusantara Loka yang liriknya mengajak untuk bersama-sama membangun Negara. Oleh ketua PWI Surakarta Ichwan Dardin dan sekretarisnya N. Sakdani Darmopamudjo, lagu Nusantara Loka dihaturkan kepada Gubernur Jawa Tengah periode 1966-1974 Mayor Jenderal Moenadi.
Kedekatan dengan bupati Wonogiri sudah ada sejak sebuah waduk dibangun, Gajah Mungkur, yang menenggelamkan sejumlah desa. Penduduk yang kena gusur ditransmigrasikan ke Sitiung di Sumatera. Di sana mereka mendapat lahan untuk ditanami sebagai mata pencaharian. Andjar pun diajak oleh Bupati RM Soemo Harmoyo untuk ikut mengantar mereka ke Sitiung naik kapal laut. Kelak bupati Wonogiri dijabat oleh menantu Harmoyo, Begug Poernomosidi. Bupati Wonogiri, Begug Poernomosidi diakui oleh Andjar Any sebagai kalangan eksekutif yang berperan dalam mengembangkan kesenian Reog Ponorogo, dan juga menjadi sesepuh dalam kesenian daerah tersebut.
Berkat Sadupi (Sarana Duta Perdamaian Indonesia) pimpinan Begug Poernomosidi, barulah Andjar bisa bepergian ke berbagai Negara seperti Inggris, Spanyol, Amerika Latin, Rusia, Siberia, dll. Sewaktu berangkat ke RRC dan Hongkong, Andjar membawa misi kesenian Orkes keroncong.
Popularitas yang menanjak dianggap orang adalah berkah bagi Andjar. Tapi ia malah membuat lagu berjudul Nyidham Sari. Ada arti dalam lagu ini, khususnya pada lirik yang berbunyi “Upomo sliramu sekar melati, aku kumbang nyidham sari; upomo sliramu margi wong manis, aku kang bakal ngliwati”. Lirik ini sering disalahartikan orang. Banyak yang mengira bahwa lagu ini berisi tentang rayuan pria kepada wanita padahal tidak. Sejak Ing Tawang, Jangkrik Genggong dan juga lagu ini, Andjar Any tidak menerapkan arti definitif. Lagu ini pun dibuat Andjar Any sebagai bentuk tanda tanya pada dirinya sendiri, ”Apa benar jalan hidupku dan karirku adalah menjadi pengarang lagu dan komponis?”
Membesarkan langgam Jawa modern adalah hal yang sulit pada masanya hingga pada tahun 1972 Andjar Any mengadakan festival Langgam Jawa. Ia menyatakan bahwa jenis music itu takkan mati selama masih ada yang menekuninya. Kepada beberapa artis pop, Andjar bahkan menyarankan untuk banting haluan menjadi artis langgam Jawa. Misalnya Titiek Sandora. Artis tersebut semula menekuni pop namun seiring munculnya artis pop seriosa seperti Emilia Contessa, Titiek pun menekuni langgam Jawa bersama Mus Mulyadi.
Pada tahun 1972, Pusat Kesenian Jawa Tengah memberi Andjar Any penghargaan pencipta lirik lagu langgam Jawa terbaik. Ia juga menerima gelar bangsawan Raden Tumenggung Singo Negoro dari Sinuhun Pakubuwono ke XII di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Jadilah Andjar Any memiliki nama panjang Kanjeng Raden Tumenggung Andjar Any Hanjaringrat Singo Negoro. Andjar merasa nama itu begitu hebat apalagi jika sambil memainkan reog terasa sekali auranya.
Andjar Any memang piawai bermain dengan kata-kata dan menyembunyikan maksud sesungguhnya dari syair suatu lagu, sehingga orang seringkali terkecoh dan salah mengartikan. Dalam sebuah VCD, pengusaha jamu Jaya Suprana mengatakan bahwa dari segi notasi musik dan syair-syairnya, karya-karya Andjar Any mampu melampaui komponis kenamaan dunia seperti Mozart dan Bach. Bahkan kemampuan Andjar Any dalam bermusik tidak didapatnya dari pendidikan musik sama sekali. Semuanya adalah bakat dari Tuhan yang diasah secara otodidak. Selain itu Andjar Any adalah tipe pengarang lagu pengejar ilham, bukan penunggu ilham. Setiap lagu ciptaannya pun selalu diilhami pada hal-hal yang nyata. Hal ini terbukti ketika kemudian langgam ciptaannya bisa dimanfaatkan sebagai terapi, persis seperti manfaat lagu-lagu klasik.
Untuk mencari penyanyi yang pas dengan karya-karyanya, Andjar Any memiliki cara yang unik. Ia menyimpan foto sang penyanyi di bawah bantal tidurnya. Menurut Andjar, cara itu adalah untuk mempertebal keterikatan batin antara sang pencipta lagu dengan penyanyinya. Hal itu dipraktekkan ketika akan memilih Iin Andriani dan Asty Dewi Christiana saat hendak rekaman album lagu Proklamator.
Ketika memilih Iga Mawarni untuk menyanyikan lagunya, Andjar pun melakukan hal yang sama. Ia melakukan hal itu dengan percaya diri, karena resikonya adalah bu Any bisa saja ngambek atau cemburu. Andjar Any memang dikenal selektif dalam memilih penyanyi. Ia ingin karakter vokal sang penyanyi cocok dengan liriknya, bukan dilihat dari rupa cantik sang penyanyi. Bahkan kalau bisa, suaranya bagus, rupa juga menawan.
Hurri Junisar @2016

Sumber : Kajian Sejarah

No comments:

Post a Comment